Rabu, 17 Oktober 2012

Seuntai Kalung Emas dan Selembar Uang Kertas


“Papi, aku ingin kalung emas itu! Stock barang nya tinggal satu! Ayo papi, kita beli kalung emas itu!”, jari mungil Angela menunjuk kepada seuntai kalung emas yang dijual di dalam toko perhiasaan. “Yang mana sih nak? Papa tidak tahu kalungnya yang mana”, ayahnya berusaha untuk berpura-pura tidak melihat kalung emas yang tergantung sangat jelas di toko itu. Berpura-pura supaya Angela tidak membelinya. “Papi, yang di depan mata papi itu! Aku ingin memilikinya, please!”, Angela memberontak. “Apa boleh buat?”, pikir ayahnya yang masih membayangkan harga kalung emas itu.

“Ok lah, ayo kita masuk”, suara laki-laki itu menjadi berat. Angela terlihat sangat senang.
Tetapi, saat mereka baru saja ingin membuka pintu toko itu, seorang wanita tua, dengan baju yang terlihat megah dan tas merah yang menggiurkan para ibu-ibu menyerobot masuk dan mengambil kalung emas itu. Wanita tua itu sempat melihat Angela dan ayahnya menatapi kalung emas itu, tapi tak tahu mengapa, ia menyerobot. 

“Saya mau beli yang ini ya pak”, ia berkata dengan suaranya yang lembut. “Harganya enam juta sembilan ratus sembilan puluh ribu rupiah”, pria yang menjaga kasir itu berkata kepadanya. Ia menyerahkan kartu nya dan menandatangani nota. Lalu ia membawa kalung emas itu pergi.

Angela membuka mulutnya sangat lebar, melihati wanita tua itu pergi begitu saja. Wajah senangnya dengan sekejap berubah menjadi wajah yang sangat jelek sehingga orang yang melihatnya dapat berpikir ia baru saja di disiplin oleh orang tuanya.

Ayahnya kebingungan. Apa yang harus ia bicarakan kepada anaknya yang bernasib malang tersebut, mengetahui bahwa kalung emas yang wanita tua tadi beli, adalah barang terakhir. “Su… Sudah lah nak, masih ada banyak kalung emas yang dapat kita cari”, ia berkata dengan gagap.

Angela mengubur mukanya dengan kedua tangannya dan berkata, “Ayo pap, kita pulang”. Ayahnya dengan segera mengambil tangan anaknya dan menggandengnya. 

Mobil mereka diparkirkan di tempat parkir yang jauh. Kaki mereka harus menderita untuk sementara waktu. 

Beberapa saat setelah itu, wanita tua yang membeli kalung emas tadi muncul kembali. Ia rupanya baru saja membeli tas dari toko lain. “Papi, itu wanita tua tadi! Ia yang mengambil kalung emas ku!!”, Angela berbisik kepada ayahnya. Pria itu hanyalah mengangguk. 

Angela sangatlah marah kepada wanita itu. Ia terus menatapi tas plastik yang berisi kalung emas itu.
Tiba-tiba, saat mereka sedang berjalan, mereka mendengar suara ring tone handphone yang berasal dari tas merah wanita itu. Ia terlihat sangat sibuk mencari handphonenya sampai-sampai, selembar uang kertas dengan nilai $1000 terjatuh dari tas megahnya itu.

“Oh, uangku!”, ia berteriak. Angela segera mengambil uang yang terjatuh tepat di depan sepatunya itu. “Ini bu”, ia memberikan selembar uang itu. “Aduh nak! Terima kasih! Ini uang yang paling berharga bagi saya”, ia berkata kepada Angela dan ayahnya. Wanita itu mengambil selembar kertas putih polos dan menuliskan alamat rumahnya disitu. Dengan suaranya yang sangat indah, ia berkata, “Ini alamatku, kapan-kapan, datang kesini dan makanlah bersamaku. Aku akan menunggu kalian disini”.

Angela tersenyum sambil melirik kearah tas plastik yang berisi kalung emas itu. Wanita itu mengetahui apa yang Angela tatapi. “Oh, ini? Saya tebak, kamu sangat menginginkan kalung emas ini”, ia berkata sambil mengambil tas plastik itu. “Ambil ini, sebagai tanda terima kasih ku kepadamu karena telah mengembalikan uangku. Jangan malu-malu, ambil saja”, ia memberikan kalung emas itu. Angela menerimanya dengan pipi merah. “Terima-kasih bu! Terima-kasih!”.

Terdengar suara mesin mobil dari arah kanan. Sebuah mobil limo berhenti tepat di sebelah wanita itu. Ia tersenyum kepada Angela dan masuk ke dalam mobil itu dengan barang belanjaannya. Tak lama setelah itu, mobil limo putih itu berjalan meninggalkan mereka.

“Papi, apa yang kau tunggu? Ayo kita pulang”, Angela berkata dengan senyuman terbaiknya..

Rabu, 10 Oktober 2012

Bagi Tuhan Tak Ada Yang Mustahil


                Aku menyalakan laptop ku, mengambil charger-nya dan menancapkannya ke dalam colokan listrik yang berada di dekatku dan mengisi baterai laptop ku. Kepalaku kuarahkan kedepan untuk melihat jendela. Matahari masih bersinar walaupun tak seberapa terangnya. Jam laptop ku menunjukkan pukul 5 lewat 17 menit pada sore hari. Tak terasa hari ini berjalan dengan sangat cepat.
                
                Aku mengambil handphone ku.  Tak sengaja aku melihat satu kalimat yang menurutku sangat menyentuh; “Bagi Tuhan tak ada yang mustahil”. Itu sangatlah benar! Aku mengalaminya sendiri.
                 
                Beberapa bulan yang lalu, aku sangat mengharapkan untuk mempunyai sebuah minatur pesawat yang menurutku sangat bagus. Aku mencari informasi tentang miniatur itu di internet, tapi hasilnya tidaklah memuaskan. Saat aku membuka website produsernya, aku melihat tulisan “Sold Out” disamping gambar pesawat yang kucari.
                 
                Tetapi, aku tidak putus asa. “Jika dari produsernya sudah sold out, bukan berarti tidak ada yang ingin menjual miniatur pesawat itu”, aku berpikir dalam hati. Aku mulai berdoa kepada Tuhan supaya aku bisa mendapatkan barang itu.
                 
                Aku menanyakan ke beberapa orang yang menjual model-model pesawat seperti itu. Jawaban mereka semuanya sama, “Maaf, sudah terjual” atau  “Maaf, kami tidak punya barangnya”. Pada saat itulah aku mulai putus asa. Rasanya aku ingin mempunyainya tetapi mengapa sejauh itu, aku tidak dapat menemukan orang yang ingin menjualnya?
                 
                Satu bulan terlewatkan, dan rasa keinginan untuk mempunyai miniatur itu sudah mulai menurun. “Masih banyak kok model pesawat yang bisa dibeli, kan tidak cuma itu”, tiba-tiba terlintas kalimat itu di kepalaku.
                 
                Pelan-pelan aku coba untuk melupakan miniatur itu. Hari demi hari aku terus berusaha tapi tak bisa. Model pesawat itu terus berada di dalam otakku. Aku mulai mengandalkan kekuatan Tuhan untuk mencarikanku pesawat-pesawatan itu. Aku berdoa kepada-Nya hampir setiap malam mengenai hal itu.
                 
                Terkadang, jika aku sangat ingin untuk mempunyainya, aku mengambil handphone ku dan membuka folder gambar. Di dalam folder itulah aku menyimpan puluhan gambar model itu. Ya, waktu itu aku sangat berharap untuk memiliki sesuatu yang mustahil untuk didapatkan. Tapi aku percaya, pasti Tuhan akan memberikanku barang yang kucari itu.
                
                Dua bulan berlari dengan cepat. Aku tetap belum menemukan orang yang ingin menjual miniatur itu. “Kapan?”, aku terus bertanya kepada Tuhan. JawabanNya hanyalah satu kata, ‘Sabar’. "Perlu berapa lama lagi harus kutunggu", aku berkata dalam hatiku. Mendadak aku diingatkan untuk tidak mengeluh. Dan dari hari itu kedepan, aku mengikuti perkataanNya.
                 
                Suatu sore, saat aku sedang membuka satu website, aku menemukan penjual miniatur pesawat yang menjual banyak koleksinya dengan harga yang sangat baik. "Hmm, kira-kira dia jual pesawat itu tidak ya?", aku berpikir dalam hati. Penasaran dengan orang ini, aku coba untuk mengirimkannya suatu pesan. Lewat pesan itu, aku bertanya kepadanya apakah ia mempunyai dan berniat untuk menjual miniatur yang kucari.
                 
                Satu haru berlalu, aku lihat, tidak ada jawaban. Hari kedua, ketiga, dan keempat, masih tidak ada jawaban. Aku bingung harus melakukan apa.

    Kemudian, aku mencari penjual ini lewat website-website lain. Hebatnya, aku dapat menemukan orangnya. Namanya sama persis dengan yang tertera di website sebelumnya. Tanpa berpikir apa-apa, aku langsung mengirimkan pesan kepadanya mengenai pesawat itu.
                 
                Setelah satu atau dua hari, ia akhirnya menjawab. Kali ini, jawabannya sangat memuaskan. Ia mempunyai barangnya! Lebih hebatnya lagi, ia ingin untuk menjual model pesawat yang ku cari itu. 

    Woooaaa! Aku berterima-kasih kepada Tuhan pada waktu itu. Dua bulan pencarian itu hasilnya sangat fantastis. Kini, kata ‘Mustahil’ itu sudah tak ada lagi. Akhirnya, Tuhan menemukanku dengan penjual miniatur pesawat itu.

     Tak lama setelah itu, aku dapat memiliki pesawat-pesaawatan yang kutunggu-tunggu dari dulu.

     Betapa bahagianya aku. Dia menuntunku untuk menjadi sabar dan untuk selalu berjuang tanpa bersungut-sungut. Kini hasil yang kutuai hebat bukan? Tuhan sangatlah baik.

     Hari ini, miniatur pesawat itu sudah berada di meja rumahku. Duduk diam bersama semua koleksi lainku. Barang ini tergolong koleksi pentingku, karena pencariannya, seperti yang sudah kceritakan sebelumnya, sangat hebat dan benar-benar melibatkan kuasa Tuhan.

     Walaupun mungkin hal ini terlihat sangat kecil dan biasa, tetapi, dalam hal-hal seperti itu, Tuhan juga bekerja. Juga bukan berarti bahwa Tuhan tidak bekerja dalam hal-hal besar. Yang penting, saat kita beriman dan berjuang untuk memperoleh sesuatu yang mungkin terlihat mustahil untuk didapatkan, Tuhan pasti akan memberikan kita yang kita harapkan itu. Dan itulah mengapa aku katakan bahwa memang benar, Bagi Tuhan tak ada yang mustahil….

Memaafkan dan Meminta Maaf


                Hari ini aku berenang bersama teman-teman sekolahku. Hampir semua murid hadir, tetapi menurutku teman paling penting diantara semua temanku  adalah Dave, karena ia adalah murid yang baru menempati kelas kami selama kurang lebih 2 bulan. Tak hanya itu, ia sekarang juga sudah tergolong “teman baikku”.
                 
                Tetapi, teman baik pun juga bisa saling bermarah-marahan bukan? Ya, tadi pada saat kami berenang, aku merasa sangat benci kepadanya. Aku mengabaikannya. Dapat dikatakan tadi aku marah ‘tingkat dewa’. Mengapa? Karena menurutku, dia seperti tidak menghargaiku lagi sebagai temannya.
                 
                Pada saat itulah, tak tau mengapa, tiba-tiba aku diingatkan kepada saat-saat sebelum Dave masuk ke sekolah kami.

   Aku dan Kak Debra sudah menunggu selama kurang lebih satu semester untuk mempunyai teman baru. Kami berdua sudah bosan untuk duduk di kelas hanya berdua saja. Kadang, jika salah satu dari kami sedang tak dapat hadir, pasti kelas kami akan di juluki “private class”.

  Akhirnya, setelah melalui semua kebosanan itu, Tuhan memberikan kami seorang anak laki-laki, yang sama umurnya dengan aku, untuk menjadi teman kami. Sosok teman inilah yang kukenal sebagai Dave Putra.

  “Hargailah temanmu itu, kamu tak akan tahu kapan lagi kamu bisa mempunyai teman seperti itu”, kalimat itu melintas di kepalaku. Pada saat itu juga aku menyesal. Seharusnya, aku memaafkannya. Tetapi mengapa tidak? Itulah kelemahanku. Pada saat orang menyakitiku, aku tidaklah gampang memaafkannya.

  Saat ini, aku membuat komitmen terbesar di dalam hidupku. Untuk memaafkan orang-orang yang menyakitiku dan meminta maaf jika aku bersalah kepada mereka. Ya, itulah komitmenku. Sekarang juga, aku memaafkan Dave, teman baikku itu..

Minggu, 07 Oktober 2012

He Will Give You What You Want


Me and my classmate, Debra, was hoping for another friend since one of our classmate pulled himself out of our school. We prayed and waited for hours, days and months until one of our teacher said to us, “You’re going to have a new friend soon”. Well, I was very happy when I got that news. My heart sang so loud that I nearly got a heart attack. What about my classmate Debra? Yeah she was also very happy, cause like we waited for new friends for months already. Thank God He gave us one. 

His name was Dave, he have every single thing that a boy at his age should have. One thing that Debra adored about him is his glittering eyes when he laughs. When she told me that, I was like “What?!”. But never mind about that, let me just go straight to my point.

I was so thankful to the God of the heavens and earth, because He gave us a chance to have another classmate. And the thing that I was going to tell all who read this article is to pray and be thankful always, because if you do these two things, He will give you what you want. 

Pardon the grammatical errors (if there are any), I’m still learning :D

Kamis, 04 Oktober 2012

Di Balik Segalanya


Matahari dan sinarnya yang dahsyat itu menghilang dari langit yang luas diatasku. Bulan tiba-tiba muncul dari kegelapan dan menyinari malam yang dingin ini. Bintang-bintang menyusulnya dengan cahaya mereka yang terlihat kecil dari sini. Jam dinding yang tergantung disini menunjukkan pukul 7.00 malam..
Aku menunggu di sebelah seorang ibu yang hebat untuk menanyakan beberapa pertanyaanku. Lampu kuning yang tergantung tepat di atas kepalaku menyinari kami berdua.
Ia adalah seorang dokter spesialis saraf yang tak henti bekerja menangani pasien yang Tuhan jaminkan kepadanya. Ia praktek di satu rumah sakit yang tergolong penting di kota ini. Setiap pagi ia harus berangkat pagi untuk duduk di meja kerjanya dan bekerja di Rumah Sakit, menemui pasien-pasien yang membutuhkan bantuannya.
Tak hanya dokter saraf, ia juga merupakan orang yang spesial dan penting bagi keluarganya. Ya, dokter saraf ini adalah seorang ibu dari 3 anak, yang tak henti merawat dan berusaha untuk membesarkan anak-anaknya dengan sepenuh hati.
“Rasa melahirkan itu bagaimana?”, aku mulai bertanya. Suara sekitar kami menjadi hening. Mukaku terfokus kepada matanya yang berkilau dan rambutnya yang terlihat sangat indah dibawah lampu kuning itu. Ia kemudian melepaskan kacamatanya yang berwarna keemasan itu dan menaruhnya di meja. “Melahirkan itu sangat mengesankan”, akhirnya ia menjawab pertanyaan pertamaku, “sakit sih sakit, sakit banget, tapi itu kan proses yang harus dilalui”. “Tapi habis itu lega, rasanya ingin lihat bayinya terus”, lanjutnya setelah beberapa saat.
Aku terdiam sejenak, membayangkan rasa sakit yang harus dilaluinya.
Ia melanjutkan dengan ceritanya tentang membesarkan 3 anaknya itu, dari mereka lahir sampai sekarang.
“Membesarkan anak itu yang penting tahu kebutuhan anaknya”, ia bilang dengan suaranya yang lembut dan khas. “Saya enjoy membesarkan anak pertama dan kedua saya”, ujarnya sambil mencabut charger laptop hitamnya dari colokan yang terletak dibawah, “Complicated itu pas anak saya yang ketiga lahir. Karena anak saya yang kedua baru 15 bulan saat saya melahirkan anak ketiga saya”. Aku memaksakan satu senyuman tetapi tidak berhasil.
Kesulitannya juga sangat menantang. Bayangkan, jarak antara anak kedua dan anak ketiga hanyalah 15 bulan.
Melahirkan jarak dekat itu banyak sekali kesulitannya. Apa lagi saat anak kedua beliau sakit beberapa saat setelah ia melahirkan anak ketiga. Ia tidak diperbolehkan untuk menggendong anak setelah melahirkan. “Saya tidak tega melihat anak kedua saya yang sedang sakit pada saat itu”, ia berkata dengan nada yang menyedihkan. “Ya mau gimana lagi? Harus digendong, tidak tega melihatnya sakit seperti itu”, terpaksa beliau harus menggendong anak keduanya pada saat itu. Untungnya tidak ada keluhan apa-apa setelah kejadian ‘menggendong anak’ itu terjadi.
Itu merupakan satu dari ratusan kesulitan yang harus dihadapi oleh ibu dokter ini saat membesarkan anak-anaknya.
Aku kembali menatap matanya. Aku melihat matanya masih berkilau.
“Bagaimana kalau anaknya marah? Perasaanya apa?”, aku bertanya. Ia kembali mengenakan kaca matanya. “Rasanya jengkel, tetapi dari kejadian-kejadian seperti itu, saya juga diingatkan, bahwa anak saya kurang puas dengan apa yang saya berikan untuk anak saya. Saya merasa, mungkin saya kurang baik mengatur waktu saya untuknya”, ia membalas dengan satu senyuman manis.
Kami berbincang mengenai hal itu. Kupingku mendengar semua yang ia katakan, tapi pikiranku tidak berada disitu. Aku masih membayangkan semua yang harus seorang ibu seperti ibu dokter ini lewati dalam membesarkan anak.
Selain kesulitan dan segala hal-hal negatif, ada beberapa hal positif setelah semuanya kugali lebih dalam. “Tapi saya senang untuk membesarkan anak saya. Memang suatu panggilan untuk membesarkan tiga anak saya”, kalimat itu seperti menggema di dalam telingaku. Hatiku tersentuh. “Tidak hanya itu, saya juga mendapat kesempatan untuk ‘membangun kreatifitas’ saya dalam membesarkan anak-anak saya”.
“Sekarang”, ia lanjutkan sambil menatap wajahku dengan muka serius, “saya senang karena anak-anak saya sudah menjadi seperti teman saya”. Beliau bilang ia senang untuk bisa bersama-sama dengan anak-anaknya. Ia merasa tidak sepi lagi. Walaupun memang sesekali anak-anaknya membuatnya marah dan sangat jengkel. Tetapi semuanya itu ia syukuri dengan segenap hatinya.
Ia bersandar di kursinya. Aku tidak tahu mengapa, tetapi pada saat itu juga, Tuhan seperti membuka mataku dan membuatku melihat betapa hatinya sangat bersuka-cita atas karunia besar yang Tuhan telah berikan kepadanya.
Walaupun tak banyak yang aku tanyakan kepadanya, tetapi aku rasa itu sudah cukup. Aku sudah bisa melihat betapa berjasanya seorang ibu sekaligus dokter saraf ini.
 Jam menunjukkan pukul 9 lewat 6 menit. Aku menoleh keluar dan menemukan bahwa langit yang beberapa jam yang lalu masih berwarna biru tua, sudah sangat-sangat gelap. Warnanya seperti warna rambutku. Tak terasa sudah sangat lama kami berbincang disini.
“Dah ya”, ia menutup. “Mama mau pulang”….