Kamis, 04 Oktober 2012

Di Balik Segalanya


Matahari dan sinarnya yang dahsyat itu menghilang dari langit yang luas diatasku. Bulan tiba-tiba muncul dari kegelapan dan menyinari malam yang dingin ini. Bintang-bintang menyusulnya dengan cahaya mereka yang terlihat kecil dari sini. Jam dinding yang tergantung disini menunjukkan pukul 7.00 malam..
Aku menunggu di sebelah seorang ibu yang hebat untuk menanyakan beberapa pertanyaanku. Lampu kuning yang tergantung tepat di atas kepalaku menyinari kami berdua.
Ia adalah seorang dokter spesialis saraf yang tak henti bekerja menangani pasien yang Tuhan jaminkan kepadanya. Ia praktek di satu rumah sakit yang tergolong penting di kota ini. Setiap pagi ia harus berangkat pagi untuk duduk di meja kerjanya dan bekerja di Rumah Sakit, menemui pasien-pasien yang membutuhkan bantuannya.
Tak hanya dokter saraf, ia juga merupakan orang yang spesial dan penting bagi keluarganya. Ya, dokter saraf ini adalah seorang ibu dari 3 anak, yang tak henti merawat dan berusaha untuk membesarkan anak-anaknya dengan sepenuh hati.
“Rasa melahirkan itu bagaimana?”, aku mulai bertanya. Suara sekitar kami menjadi hening. Mukaku terfokus kepada matanya yang berkilau dan rambutnya yang terlihat sangat indah dibawah lampu kuning itu. Ia kemudian melepaskan kacamatanya yang berwarna keemasan itu dan menaruhnya di meja. “Melahirkan itu sangat mengesankan”, akhirnya ia menjawab pertanyaan pertamaku, “sakit sih sakit, sakit banget, tapi itu kan proses yang harus dilalui”. “Tapi habis itu lega, rasanya ingin lihat bayinya terus”, lanjutnya setelah beberapa saat.
Aku terdiam sejenak, membayangkan rasa sakit yang harus dilaluinya.
Ia melanjutkan dengan ceritanya tentang membesarkan 3 anaknya itu, dari mereka lahir sampai sekarang.
“Membesarkan anak itu yang penting tahu kebutuhan anaknya”, ia bilang dengan suaranya yang lembut dan khas. “Saya enjoy membesarkan anak pertama dan kedua saya”, ujarnya sambil mencabut charger laptop hitamnya dari colokan yang terletak dibawah, “Complicated itu pas anak saya yang ketiga lahir. Karena anak saya yang kedua baru 15 bulan saat saya melahirkan anak ketiga saya”. Aku memaksakan satu senyuman tetapi tidak berhasil.
Kesulitannya juga sangat menantang. Bayangkan, jarak antara anak kedua dan anak ketiga hanyalah 15 bulan.
Melahirkan jarak dekat itu banyak sekali kesulitannya. Apa lagi saat anak kedua beliau sakit beberapa saat setelah ia melahirkan anak ketiga. Ia tidak diperbolehkan untuk menggendong anak setelah melahirkan. “Saya tidak tega melihat anak kedua saya yang sedang sakit pada saat itu”, ia berkata dengan nada yang menyedihkan. “Ya mau gimana lagi? Harus digendong, tidak tega melihatnya sakit seperti itu”, terpaksa beliau harus menggendong anak keduanya pada saat itu. Untungnya tidak ada keluhan apa-apa setelah kejadian ‘menggendong anak’ itu terjadi.
Itu merupakan satu dari ratusan kesulitan yang harus dihadapi oleh ibu dokter ini saat membesarkan anak-anaknya.
Aku kembali menatap matanya. Aku melihat matanya masih berkilau.
“Bagaimana kalau anaknya marah? Perasaanya apa?”, aku bertanya. Ia kembali mengenakan kaca matanya. “Rasanya jengkel, tetapi dari kejadian-kejadian seperti itu, saya juga diingatkan, bahwa anak saya kurang puas dengan apa yang saya berikan untuk anak saya. Saya merasa, mungkin saya kurang baik mengatur waktu saya untuknya”, ia membalas dengan satu senyuman manis.
Kami berbincang mengenai hal itu. Kupingku mendengar semua yang ia katakan, tapi pikiranku tidak berada disitu. Aku masih membayangkan semua yang harus seorang ibu seperti ibu dokter ini lewati dalam membesarkan anak.
Selain kesulitan dan segala hal-hal negatif, ada beberapa hal positif setelah semuanya kugali lebih dalam. “Tapi saya senang untuk membesarkan anak saya. Memang suatu panggilan untuk membesarkan tiga anak saya”, kalimat itu seperti menggema di dalam telingaku. Hatiku tersentuh. “Tidak hanya itu, saya juga mendapat kesempatan untuk ‘membangun kreatifitas’ saya dalam membesarkan anak-anak saya”.
“Sekarang”, ia lanjutkan sambil menatap wajahku dengan muka serius, “saya senang karena anak-anak saya sudah menjadi seperti teman saya”. Beliau bilang ia senang untuk bisa bersama-sama dengan anak-anaknya. Ia merasa tidak sepi lagi. Walaupun memang sesekali anak-anaknya membuatnya marah dan sangat jengkel. Tetapi semuanya itu ia syukuri dengan segenap hatinya.
Ia bersandar di kursinya. Aku tidak tahu mengapa, tetapi pada saat itu juga, Tuhan seperti membuka mataku dan membuatku melihat betapa hatinya sangat bersuka-cita atas karunia besar yang Tuhan telah berikan kepadanya.
Walaupun tak banyak yang aku tanyakan kepadanya, tetapi aku rasa itu sudah cukup. Aku sudah bisa melihat betapa berjasanya seorang ibu sekaligus dokter saraf ini.
 Jam menunjukkan pukul 9 lewat 6 menit. Aku menoleh keluar dan menemukan bahwa langit yang beberapa jam yang lalu masih berwarna biru tua, sudah sangat-sangat gelap. Warnanya seperti warna rambutku. Tak terasa sudah sangat lama kami berbincang disini.
“Dah ya”, ia menutup. “Mama mau pulang”….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar