Matahari dan sinarnya yang dahsyat
itu menghilang dari langit yang luas diatasku. Bulan tiba-tiba muncul dari kegelapan
dan menyinari malam yang dingin ini. Bintang-bintang menyusulnya dengan cahaya
mereka yang terlihat kecil dari sini. Jam dinding yang tergantung disini menunjukkan
pukul 7.00 malam..
Aku menunggu di sebelah seorang ibu
yang hebat untuk menanyakan beberapa pertanyaanku. Lampu kuning yang tergantung
tepat di atas kepalaku menyinari kami berdua.
Ia adalah seorang dokter spesialis
saraf yang tak henti bekerja menangani pasien yang Tuhan jaminkan kepadanya. Ia
praktek di satu rumah sakit yang tergolong penting di kota ini. Setiap pagi ia
harus berangkat pagi untuk duduk di meja kerjanya dan bekerja di Rumah Sakit, menemui
pasien-pasien yang membutuhkan bantuannya.
Tak hanya dokter saraf, ia juga
merupakan orang yang spesial dan penting bagi keluarganya. Ya, dokter saraf ini
adalah seorang ibu dari 3 anak, yang tak henti merawat dan berusaha untuk
membesarkan anak-anaknya dengan sepenuh hati.
“Rasa melahirkan itu bagaimana?”,
aku mulai bertanya. Suara sekitar kami menjadi hening. Mukaku terfokus kepada
matanya yang berkilau dan rambutnya yang terlihat sangat indah dibawah lampu
kuning itu. Ia kemudian melepaskan kacamatanya yang berwarna keemasan itu dan
menaruhnya di meja. “Melahirkan itu sangat mengesankan”, akhirnya ia menjawab
pertanyaan pertamaku, “sakit sih sakit, sakit banget, tapi itu kan proses yang
harus dilalui”. “Tapi habis itu lega, rasanya ingin lihat bayinya terus”,
lanjutnya setelah beberapa saat.
Aku terdiam sejenak, membayangkan
rasa sakit yang harus dilaluinya.
Ia melanjutkan dengan ceritanya
tentang membesarkan 3 anaknya itu, dari mereka lahir sampai sekarang.
“Membesarkan anak itu yang penting
tahu kebutuhan anaknya”, ia bilang dengan suaranya yang lembut dan khas. “Saya enjoy membesarkan anak pertama dan kedua
saya”, ujarnya sambil mencabut charger laptop hitamnya dari colokan yang
terletak dibawah, “Complicated itu
pas anak saya yang ketiga lahir. Karena anak saya yang kedua baru 15 bulan saat
saya melahirkan anak ketiga saya”. Aku memaksakan satu senyuman tetapi tidak
berhasil.
Kesulitannya juga sangat menantang.
Bayangkan, jarak antara anak kedua dan anak ketiga hanyalah 15 bulan.
Melahirkan jarak dekat itu banyak
sekali kesulitannya. Apa lagi saat anak kedua beliau sakit beberapa saat
setelah ia melahirkan anak ketiga. Ia tidak diperbolehkan untuk menggendong
anak setelah melahirkan. “Saya tidak tega melihat anak kedua saya yang sedang sakit
pada saat itu”, ia berkata dengan nada yang menyedihkan. “Ya mau gimana lagi?
Harus digendong, tidak tega melihatnya sakit seperti itu”, terpaksa beliau
harus menggendong anak keduanya pada saat itu. Untungnya tidak ada keluhan
apa-apa setelah kejadian ‘menggendong anak’ itu terjadi.
Itu merupakan satu dari ratusan kesulitan
yang harus dihadapi oleh ibu dokter ini saat membesarkan anak-anaknya.
Aku kembali menatap matanya. Aku melihat
matanya masih berkilau.
“Bagaimana kalau anaknya marah?
Perasaanya apa?”, aku bertanya. Ia kembali mengenakan kaca matanya. “Rasanya
jengkel, tetapi dari kejadian-kejadian seperti itu, saya juga diingatkan, bahwa
anak saya kurang puas dengan apa yang saya berikan untuk anak saya. Saya
merasa, mungkin saya kurang baik mengatur waktu saya untuknya”, ia membalas
dengan satu senyuman manis.
Kami berbincang mengenai hal itu.
Kupingku mendengar semua yang ia katakan, tapi pikiranku tidak berada disitu.
Aku masih membayangkan semua yang harus seorang ibu seperti ibu dokter ini
lewati dalam membesarkan anak.
Selain kesulitan dan segala hal-hal
negatif, ada beberapa hal positif setelah semuanya kugali lebih dalam. “Tapi
saya senang untuk membesarkan anak saya. Memang suatu panggilan untuk
membesarkan tiga anak saya”, kalimat itu seperti menggema di dalam telingaku. Hatiku
tersentuh. “Tidak hanya itu, saya juga mendapat kesempatan untuk ‘membangun
kreatifitas’ saya dalam membesarkan anak-anak saya”.
“Sekarang”, ia lanjutkan sambil
menatap wajahku dengan muka serius, “saya senang karena anak-anak saya sudah
menjadi seperti teman saya”. Beliau bilang ia senang untuk bisa bersama-sama
dengan anak-anaknya. Ia merasa tidak sepi lagi. Walaupun memang sesekali anak-anaknya
membuatnya marah dan sangat jengkel. Tetapi semuanya itu ia syukuri dengan
segenap hatinya.
Ia bersandar di kursinya. Aku tidak
tahu mengapa, tetapi pada saat itu juga, Tuhan seperti membuka mataku dan
membuatku melihat betapa hatinya sangat bersuka-cita atas karunia besar yang
Tuhan telah berikan kepadanya.
Walaupun tak banyak yang aku
tanyakan kepadanya, tetapi aku rasa itu sudah cukup. Aku sudah bisa melihat
betapa berjasanya seorang ibu sekaligus dokter saraf ini.
Jam menunjukkan pukul 9 lewat 6 menit. Aku
menoleh keluar dan menemukan bahwa langit yang beberapa jam yang lalu masih
berwarna biru tua, sudah sangat-sangat gelap. Warnanya seperti warna rambutku.
Tak terasa sudah sangat lama kami berbincang disini.
“Dah ya”, ia menutup. “Mama mau pulang”….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar