Kamis, 01 November 2012

"Di Belakang Kesepiannya Itu"


Seorang anak duduk di tangga sekolahnya yang tidak ditutupi oleh keramik maupun kayu dan yang sangat jarang dilewati oleh murid sekolah itu. Semua perasaannya tersumbat di dalam hatinya. Mereka tak bisa mengalir keluar dan pergi. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai hal. Ia sangat tertekan pada saat itu.

Teman-temannya yang dulu sangatlah setia kepadanya, dengan pelan-pelan meninggalkannya. Kadang, ia sering diabaikan di kelas. Tak satu teman pun seperti menganggap dia ada. Ia tak tahu mau berbuat apa.
Ia tak pernah diajak bicara. Satu-satunya cara untuk ngobrol bersama teman-temannya adalah untuk memulai suatu pembicaraan duluan. Kalau tidak, ya dia tidak bakal diajak ngobrol..

Tetapi semua itu bertambah parah saat beberapa temannya mengejeknya dengan kata “sinting” hari itu. Hatinya terasa seperti ditusuk. Maka dari itu, ia memilih untuk duduk di tangga yang sepi itu. Ia ingin berbicara kepada Tuhan. Ia sangat ingin untuk pergi dari dunia yang ia tinggali. “Aku menyerah, Tuhan, tolong bawa aku pergi!”, suara hatinya berteriak sangat keras..

Kemudian dengan perlahan, ia mulai menangis. Menangis di tangga sepi itu. Dan ini bukan pertama kalinya ia sedih karena hal tersebut. Ia sudah berkali-kali menangis karena kelakuan teman-temannya yang sangat membuatnya diasingkan. 

Tak seorang pun menemaninya kali ini. Hanya terdengar suara daun daun yang saling bertabrakan dan suara angin yang terus meniup dari belakangnya. 

“Tuhan, aku sudah lelah. Aku tak bisa menghadapi ini semua. Aku menyerah! Aku ingin tinggal bersama-Mu, aku ingin pergi. Aku ingin pergi!!!!”, ia berbisik kepada dirinya sendiri. Suara itu seakan-akan menggema di telinganya..

“Kapan mereka bisa mengerti bahwa aku membutuhkan mereka? Ini semua salah mereka, mereka seharusnya bisa berada disini dan menemaniku! Teman macam apa mereka itu!”, ia berpikir. Air matanya yang mengkilat itu terus mengalir dari atas ke bawah. Matanya mulai terlihat merah dan sedikit bengkak. 

Tetapi semua yang ia lakukan itu tetap tidak bisa membuatnya lupa akan segala hal yang teman-temannya lakukan. Yang paling membuat hatinya sangat sakit adalah karena teman baiknya juga meninggalkannya.
Tiba-tiba, salah seorang temannya datang. “George! Aku mencarimu kemana-mana. Ternyata kau disini!”, Veronica, salah satu teman perempuannya yang sangat perhatian, datang.

Veronica duduk di tepat di sebelah George. Perempuan itu melihat bekas tangisan yang ada di pipi George dan matanya yang terlihat sangat merah. Dengan segera, George menutupi mukanya dengan kedua tangannya. “Eh eh eh.. Mengapa kau menangis”, Veronica berkata dengan muka prihatin. 

Saat itu, hati George seperti baru saja ditembak dari depan dengan sebuah AK-47. Jantungnya berdebar sangat keras. Perasaannya bagaikan secangkir teh yang sedang diaduk sangat keras. Kepalanya terasa sangat pusing dan pandangannya menjadi sangat kabur. “Apa muka ku segitu parahnya sehingga ia bisa tahu aku baru saja menangis?”, ia bertanya kepada dirinya. Mukanya terlihat polos dan sangat aneh.

“Aku tidak menangis kok, tenang aja”, ia memaksakan satu senyuman dan berpura-pura tertawa. Tetapi ia memang tidak terlalu pintar untuk berbohong dan Veronica juga tidak mau menyerah dengan cepat. Tangan Veronica yang dingin dan lembut memegang tangan kiri George dan berkata, “Mengapa kau menangis? Jujur saja kepadaku, aku juga sering menangis kok”.

“Aku.. Aku..”, ia seperti tidak bisa berkata apa-apa. Baru pertama kali ia mengalami bagaimana rasanya menjadi gagap. Mulutnya tidak bisa bergerak sama sekali, seakan-akan dikunci oleh Tuhan dengan gembok yang beratnya sampai berton-ton. “Ayo, katakan saja. Aku tak akan memberitahu siapa-siapa, aku janji!”, Veronica memegang tangannya lebih erat dan tersenyum lebar. 

Kali ini, George tak bisa menahan lagi. Senyuman indah dan matanya yang berkilap-kilap sungguh memaksanya untuk mengeluarkan isi hatinya kepada Veronica. “Ver.. Aku hanya merasa kesepian. Aku merasa.. Aku merasa semua teman-temanku meninggalkanku. Jujur aku merasa sangat sangat kesepian. Aku ingin mempunyai teman yang perhatian dan selalu bersamaku”, akhirnya gembok itu di buka dan mulutnya dapat bergerak kembali. 

Mereka saling bertatapan. Hati George terasa sangat hangat saat itu. “Aku tahu kamu merasa sangat kesepian dan mungkin memang semua temanmu meninggalkanmu. Tetapi, aku akan selalu ada untukmu. Begitu juga dengan Tuhan. Ia akan selalu menemanimu”, Veronica mencoba untuk membuatnya bersemangat lagi.

Tapi, usahanya kurang berhasil. Tangisannya keluar lagi. “Jangan menangis. Yang penting kamu tahu Tuhan ada bersamamu dan begitu juga aku. Sekarang, ayo siap-siap pulang. Supirmu pasti akan tiba sebentar lagi”, Veronica mengeluarkan senyuman manisnya lagi sambil mencoba untuk menghapus air mata anak laki-laki yang kesepian itu. 

“Tapi Ver, aku sudah mencoba.. Tetap tidak bisa. Aku masih merasa kesepian Ver”, ia berkata. Veronica menyandarkan badannya ke belakang. “Begini George, dulu aku juga pernah merasa kesepian. Aku merasa kamu dan teman-teman lainnya meninggalkanku. Aku juga sering menangis pada waktu itu. Tetapi aku terus ingat dan pegang satu hal ini, bahwa Tuhan selalu ada. Mungkin aku, kamu dan kita semua tidak bisa melihatNya. Tetapi kamu tahu tidak? Tuhan sebenarnya, sekarang juga sedang berada di sebelahmu, merangkulmu dan mencoba untuk menenangkanmu”, muka perempuan itu semakin manis. George menundukkan kepalanya dan mencoba untuk berpikir lebih dalam mengenai perkataan teman perempuannya itu. “Jadi, kamu harus mensyukuri terlebih dahulu. Tuhan ada bersamamu adalah sebuah anugerah yang hebat kan? Aku sangat ingat. Dulu, setelah aku mensyukuri anugerah itu, teman-temanku mulai mendekatiku lagi! Sebenarnya itu saja yang harus kamu lakukan George”. 

Veronica berdiri dan mengambil tas teman laki-lakinya itu. “Gila! Tasmu berat banget! Ambil ini”, Veronica memberikan tasnya, “ayo kita turun”. George kemudian menyusulnya berdiri. Ia mengambil tasnya, membersihkan celananya dan merapikan bajunya. Veronica menggandeng George turun ke bawah.
“Nah! Tuh, supirmu dah datang. Sampai ketemu besok ya George”, gadis yang berbaik hati itu berkata. Saat itu, George tidak ingin melepaskan gandengan Veronica. Ia ingin untuk selalu bersamanya. “Ver, mensyukuri anugerah itu susah tidak?”, George masih terlihat bingung dengan semua perkataan yang Veronica bicarakan dengannya di tangga yang sepi itu beberapa menit yang lalu. “Aku akan simpulkan kepadamu ya.. Kamu tidak usah merasa kesepian karena sesungguhnya Tuhan itu bersama mu, Dia tidak akan meninggalkanmu. You’ll never walk alone, because God is with you. Dan keberadaan Tuhan bersamamu adalah sebuah anugerah, maka dari itu, syukurilah!”, Veronica berkata. 

Beberapa saat setelah itu, lonceng berbunyi sangat keras. “Eh, itu bel masuk kelas. Aku ada pelajaran tambahan nih hari ini. Sebel tau ga!”, muka gadis itu terlihat sangat aneh, “sampai ketemu besok ya!”. Dengan segera George memeluk gadis itu dan mencium pipinya. “Terima-kasih ya Ver, hari ini kamu sudah membuatku merasa tidak kesepian lagi”, George akhirnya tersenyum. Veronica hanya berdiri tegak dan mengeluarkan muka polos karena ciuman George. “Aku tidak akan membersihkan pipiku selamanya”, Veronica berpikir dalam hati.

“George tunggu!”, ia berteriak. “Janji kepadaku ya, jangan merasa kesepian lagi, karena sebenarnya semua teman-temanmu memerhatikan mu dan sayang kepada mu, tetapi kamu saja yang tidak mengetahui itu. Karena salah satu dari mereka adalah aku”, dengan segera, Veronica membalikkan badan dan berlari kearah kelasnya. George berdiri diam dan tak bisa berkata apa-apa. Ternyata, selama ini, yang membuatnya sedih adalah pikiran negatifnya terhadap semua teman-temannya itu. “Aku.. Aku minta maaf Tuhan. Bu.. Bukan salah mereka Tuhan, tetapi salah ku”, ia akhirnya menyadari hal itu…

1 komentar:

  1. Oi-Oi... Cerita-nya sih bagus, tapi ending-nya gak bagus.. ;)

    BalasHapus