Rabu, 07 November 2012

Mengutuk, Dikutuk dan Membebaskan Diri


Di suatu tempat yang jauh dari perkotaan dan pedesaan, berdiri satu rumah. Rumah itu tak seberapa mewah jika dilihat dari luarnya. Layaknya suatu rumah yang ditinggali orang berkelas menengah kebawah. 

Pagar putihnya sudah terlihat sangat rapuh. Kayu rumah itu juga ada beberapa yang sudah lenyap di makan rayap. Pintu rumah itu, benar benar mengerikan. Ada beberapa lubang disitu. Jendela-jendelanya juga sudah kebanyakan pecah. Bagaimana dengan atapnya? Lebih baik jangan dibahas.

Yang meninggali rumah itu tak banyak, melainkan hanya seorang wanita tua yang dalam 30 tahun terakhir ini, tak pernah keluar dari rumahnya. Satu hal wajib yang ia lakukan setiap hari, setiap pagi adalah membuka jendela dapurnya dan menikmati angin sejuk yang selalu berhembus kearahnya. Tetapi, hal ini ia lakukan hanya untuk sebentar saja. Karena setiap kali ia membuka jendela itu untuk menikmati angin, badai datang dang menghancurkan momen indah itu.

Pagi ini, sama seperti pagi biasanya, ia memutarkan roda kursinya itu menuju dapurnya. Ia mengambil satu cangkir dan mengisinya dengan air panas. Lalu, ia berputar untuk mencelupkan teh kedalam cangkir tadi. Setelah selesai, ia membuka jendela dapurnya, seperti biasa. Angin sejuk itu kembali meniupnya. Rambut putihnya menari karena hembusan angin sehingga terlihat sangat anggun, bajunya ditiup angin sangat kencang, dan disitu ia hanya duduk. Tak tersenyum, tak ada perasaan apa-apa, dan sama sekali tak senang. Kemudian ia mulai untuk meminum teh panasnya itu.

Saat angin sejuk itu meniupnya dengan sangat semilir, terlihat segerombolan awan hitam datang kearahnya. Awal-awal, mereka terlihat tidak berbahaya. Sama seperti biasanya. Tapi lama-kelamaan, kedatangan mereka itu juga disambut oleh petir dan halilintar hebat. 

Wanita itu, dengan tangan bergemetaran, mencoba untuk menutup jendelanya. “Klik”, terdengar suara itu setelah ia mengunci jendelanya. Suara badai di luar rumahnya itu terdengar sangat dahsyat. Hujan mulai turun. Air hujan membasahi seluruh rumahnya. Beberapa bagian dari atap rumah itu berlubang, jadi, pastinya air hujan itu memasuki rumahnya. “Kutukan itu”, ia berbisik kepada dirinya sendiri.

Ia teringat akan kejadian buruk yang menjatuhi dirinya 30 tahun yang lalu. Saat wanita itu sedang berjalan kaki dari rumahnya ke rumah salah seorang teman baiknya, suatu badai datang dan menyerangnya. Badai itu beberapa hari yang lalu sudah diprediksi akan datang, dan badai ini bukanlah badai biasa. “Badai Kutukan” kata kebanyakan orang. 

Menurut kisahnya, jika ada seseorang yang berani mengutuk badai itu, hidupnya juga akan dikutuk juga.
Tetapi wanita ini tak perduli. Ia tidak percaya akan 'mitos-mitos' seperti itu. “Omong kosong”, pikirnya. 

Dan pada saat badai itu datang dan hujan membasahi dirinya yang sudah hampir sampai ke tujuannya, ia mengatakan sesuatu. Sesuatu yang dapat mengutuk hidupnya untuk selamanya. Sesuatu yang dapat memasukkan hidupnya ke dalam bahaya yang sangat besar. “Badai keparat!”, teriakan itu mengaung di langit yang luas. Pada saat itu, awan diatas menjadi sangat hitam dan petir besar menyambar pohon yang berada tepat di depannya sehingga tumbang. Pohon itu terbakar. Api yang berkobar sangat besar. Nyaris sekali menyambarnya. Dan di kobaran api itu, terbentuk kata-kata yang membuatnya terkejut. Sangat terkejut sebenarnya. “Let me teach you how to punish yourself!”. Ia berlari pulang. Berlari sangat cepat dengan tergesa-gesa. 

Lalu ia memasuki rumahnya sambil berteriak. Ia menutup semua pintu rumahnya, dan semua jendela dan mengunci mereka masing-masing. “Akhirnya aku bisa menghindari badai itu!”, hatinya berkata. Tapi permainan ini belum selesai, melainkan baru saja dimulai. Ia melihat satu lembar kertas jatuh dari atap rumahnya. Tak tahu sumbernya dari mana dan penulisnya siapa. “Terang akan selalu berubah menjadi gelap saat kau ada, karena kegelapan adalah dirimu” tertulis kalimat itu di lembar kertas tadi. Bau kertas itu amis, ia sangat yakin tulisan itu ditulis dengan darah manusia.
Waktu dilahap olehnya hanya untuk memikirkan apa yang dimaksud dengan kalimat itu. Sampai akhirnya ia mengerti bahwa keberadaannya akan selalu mengundang badai kutukan itu. 

Pada waktu itu, ia sangat takut akan keselamatan orang-orang di sekitarnya, maka dari itu, ia melarikan diri ke tempat yang jauh dari semua tempat yang ditinggali banyak warga.

Mulai dari saat itulah, ia pindah ke rumahnya yang tua ini, dengan kutukan badai itu. Ia tidak akan pernah bisa lagi keluar dari rumahnya dan menikmati langit indah.
“Duar!”, suara petir yang baru saja menyambar terdengar mengerikan. Rumahnya seakan-akan sedang difoto oleh puluhan paparazzi dengan flash kamera mereka yang sangat terang. Tapi ia tak takut. Sama sekali tidak takut kali ini. “Sudah biasa”, itu saja yang ia pikir.

“Ting tong”, bel rumahnya yang selama 30 tahun tidak berbunyi tiba-tiba mengeluarkan suaranya kembali. Wanita itu sangat kaget mendengar suara belnya. Mana mungkin ada seseorang yang berani datang ke rumahnya yang tua dan dalam keadaan sedang diserang badai besar?

Mau tidak mau, ia harus membuka pintu rumahnya. “Ting tong”, bel itu berbunyi lagi. Ketakutan, ia tidak berkata apa-apa. Pelan-pelan, ia menjalankan kursi rodanya untuk membuka pintu rumahnya. Lagi-lagi, dengan tangan bergemetaran dan dengan hati yang berdebar-debar, ia memutar gagang pintu itu. 

Ya, akhirnya pintu ini dibuka setelah 30 tahun lamanya tertutup. Hatinya tambah berdebar, seorang anak perempuan, dengan baju merah muda yang basah kuyup, rambut pirang yang sangat lembut, mata yang berkaca-kaca, tinggi badan sekitar satu meter dan lollipop yang terlihat retak di tangannya berdiri di depannya.

“Kutukan itu, kutukan yang dijatuhkan kepadamu dapat kuhapuskan”, suara anak itu bagaikan suara gemuruh. Mata wanita tua itu menjadi besar. "Nak apa yang kau katakan?", ia berpura-pura untuk tidak tahu. "Jangan menipuku! Aku adalah dewa Julieth, dewa badai dan binatang", anak itu memperkenalkan identitasnya. Wanita tua itu kebingungan. "Apakah aku bermimpi?", ia bertanya. "Ini bukan mimpi, aku memang ada", dewa itu tersenyum. "Badai kutukan ini adalah hasil kerja tangan ku yang gagal. Seharusnya aku membuat badai berkat, tetapi aku gagal, munculnya badai kutukan ini. Dan pada saat aku ingin menghancurkannya, ia melarikan diri, dan menjadi sangat kuat", ia berkata dengan serius. Caroline terlihat tambah bingung.

“Caroline, berpeganglah ke pundakku”, ia berputar. Tak berpikir panjang, Caroline dengan segera menaruh tangannya ke pundak anak kecil yang pendek itu.
Dalam sekejap, kepala anak itu berubah menjadi kepala singa, dan tangannya berubah menjadi sayap burung elang, badannya berubah menjadi badan serigala dan kakinya berubah menjadi cakar burung garuda. Lalu ia terbang membawa wanita itu ke awan yang gelap diatas mereka. "Berpeganganlah yang erat!", dewa badai dan binatang itu berkata.

“Kau membawaku kemana!”, teriak Caroline, wanita tua itu. “Semua kutukan yang badai ini bawa disimpan di dalam satu berlian besar yang melayang di awan-awan ini! Berlian ini juga merupakan jantung badai ini, jadi jika dihancurkan, badai itu hilang untuk selamanya! Aku membutuhkan engkau untuk menghancurkan berlian itu, karena hanya manusia yang terkutuk yang bisa menghancurkannya”, dewa yang menyamar menjadi anak itu menjawabnya. Suara badai dan gemuruhnya sangatlah keras sehingga terkadang melampaui suara anak kecil itu. 

Setelah dua belas menit mereka terbang mengitari badai ini dan mencari berlian tadi, mereka akhirnya menemukannya. Berlian itu melayang di titik pusat badai itu. Cahayanya sangat terang, menyilaukan mata mereka berdua. Dan terlihat di dalam berlian terang tadi, banyak tulisan-tulisan kutukan berwarna merah darah, sama seperti tulisan yang ia dapatkan 30 tahun yang lalu di rumahnya. 

Ia menelan air liurnya sendiri. Petir menyambar terus menerus ke berlian itu, tapi tak hancur-hancur. “Ambil pedang ini dan hancurkan berlian itu! Pedang ini diberi kuasa untuk bisa menghancurkan semua berlian, termasuk berlian satu ini! Berhati-hatilah”, anak yang sudah berubah wujud itu berteriak. Tiba-tiba, sebuah pedang berwarna perak mengkilap jatuh tepat di tangannya dan anak kecil itu melemparkannya kearah berlian terang tadi. Tak dapat ia duga, ia bisa melayang diatas awan-awan. “Hancurkan semua kutukan itu!”, anak itu berteriak kembali. Tak lama setelah itu, ia menghilang di awan-awan hitam. Caroline sudah tidak bisa melihatnya lagi.

Dengan pelan-pelan, ia mencoba untuk menghancurkan berlian itu. Tapi selalu tidak bisa. Setiap kali ia mengarahkan pedangnya ke berlian itu, petir menyambar. Ia mencoba terus-terusan sampai akhirnya, ia tidak tahan lagi. 

Emosinya mulai naik. Ia menjadi sangat marah. Pedangnya ia arahkan ke berlian itu. Tapi lagi-lagi petir menyambar. Mukanya menjadi sangat merah. Matanya berkaca-kaca. Sementara berlian itu hanya duduk diam di depannya. 

Saat ia ingin mencoba untuk mengancurkan berlian itu lagi, pedangnya tersambar petir sehingga terlempar jauh ke bawah. 

“Aaaaaarrrgghh”, ia berteriak sekencang mungkin. Jantungnya berdebar sangat cepat, keringatnya mengalir dari atas ke bawah, air matanya keluar dan tangan keriputnya bergemetar. “Tak ada orang yang dapat mendengarkan teriakanmu Caroline tua! Aku telah mengutukmu selamanya! Dan kau tidak bisa mengambil kutukan itu kembali!”, badai itu berbicara kepadanya. “Okay! Aku meminta maaf jika dulu, 30 tahun yang lalu, aku mengutukmu. Aku minta maaf. Tapi, hanya karena aku mengutukmu, bukan berarti kau bisa mengutukku balik!”, ia menjerit. 

Caroline menjatuhkan dirinya untuk mengambil pedangnya balik.  Angin yang sangat dingin dan air hujan yang lebat dapat ia rasakan. Akhirnya! Ia dapat melihat pedang silvernya. “Hap!”, ia memegang pedang itu di tangannya kembali. Melihat Caroline jatuh dari langit, anak perempuan tadi segera terbang kearahnya dan membawanya kembali ke tempat berlian itu melayang. 

“Bawa pedangnya seerat mungkin, ini mungkin kesempatan terakhir kita untuk melenyapkan badai ini!”, dewa badai ini mencoba untuk memotivasi Caroline tua. Dilemparkannya kembali Caroline kearah berlian tadi. Ia mengangkat pedangnya setinggi mungkin dan melompat ke atas berlian itu. “MATILAH KAU!”. “Nooo!”, giliran badai itu yang berteriak kepadanya. Tapi sudah terlambat. Pedang yang kuat itu menghancurkan berlian badai kutukan. Terlihat, sinarnya padam tiba-tiba. Tulisan-tulisan itu jatuh bertaburan kebawah, terbakar. Serpihan berlian itu jatuh semua, menjadi butiran debu. Dan badai itu menghilang dalam hitungan detik. Awan gelap itu lenyap, dan Caroline, yang sudah tidak bertenaga sama sekali, ikut jatuh dengan lemas ke tanah. 

Sebelum badannya menyentuh tanah, anak kecil tadi, masih dalam wujudnya yang tidak jelas, datang dan membawanya balik ke rumah tuanya itu. Sesampainya disana, dibaringkan Caroline di kasurnya. Lalu, ia pergi meninggalkan wanita tua itu. 

Setelah satu jam lamanya ia tidak sadarkan diri, akhirnya matanya kembali terbuka. Di samping tempat tidurnya, terbaring satu surat kecil untuknya. “Engkau bebas, kini kegelapan telah pergi dan terang akan tinggal bersamamu”..

2 komentar: