Di suatu tempat yang jauh dari perkotaan dan pedesaan,
berdiri satu rumah. Rumah itu tak seberapa mewah jika dilihat dari luarnya.
Layaknya suatu rumah yang ditinggali orang berkelas menengah kebawah.
Pagar putihnya sudah terlihat sangat rapuh. Kayu rumah itu
juga ada beberapa yang sudah lenyap di makan rayap. Pintu rumah itu, benar
benar mengerikan. Ada beberapa lubang disitu. Jendela-jendelanya juga sudah kebanyakan
pecah. Bagaimana dengan atapnya? Lebih baik jangan dibahas.
Yang meninggali rumah itu tak banyak, melainkan hanya
seorang wanita tua yang dalam 30 tahun terakhir ini, tak pernah keluar dari
rumahnya. Satu hal wajib yang ia lakukan setiap hari, setiap pagi adalah
membuka jendela dapurnya dan menikmati angin sejuk yang selalu berhembus
kearahnya. Tetapi, hal ini ia lakukan hanya untuk sebentar saja. Karena setiap kali
ia membuka jendela itu untuk menikmati angin, badai datang dang menghancurkan
momen indah itu.
Pagi ini, sama seperti pagi biasanya, ia memutarkan roda
kursinya itu menuju dapurnya. Ia mengambil satu cangkir dan mengisinya dengan
air panas. Lalu, ia berputar untuk mencelupkan teh kedalam cangkir tadi.
Setelah selesai, ia membuka jendela dapurnya, seperti biasa. Angin sejuk itu
kembali meniupnya. Rambut putihnya menari karena hembusan angin sehingga terlihat sangat anggun, bajunya ditiup angin
sangat kencang, dan disitu ia hanya duduk. Tak tersenyum, tak ada perasaan
apa-apa, dan sama sekali tak senang. Kemudian ia mulai untuk meminum teh
panasnya itu.
Saat angin sejuk itu meniupnya dengan sangat semilir, terlihat segerombolan awan hitam datang kearahnya. Awal-awal, mereka terlihat
tidak berbahaya. Sama seperti biasanya. Tapi lama-kelamaan, kedatangan mereka
itu juga disambut oleh petir dan halilintar hebat.
Wanita itu, dengan tangan bergemetaran, mencoba untuk
menutup jendelanya. “Klik”, terdengar suara itu setelah ia mengunci jendelanya.
Suara badai di luar rumahnya itu terdengar sangat dahsyat. Hujan mulai turun.
Air hujan membasahi seluruh rumahnya. Beberapa bagian dari atap rumah itu
berlubang, jadi, pastinya air hujan itu memasuki rumahnya. “Kutukan itu”, ia
berbisik kepada dirinya sendiri.
Ia teringat akan kejadian buruk yang menjatuhi dirinya 30
tahun yang lalu. Saat wanita itu sedang berjalan kaki dari rumahnya ke rumah
salah seorang teman baiknya, suatu badai datang dan menyerangnya. Badai itu beberapa hari yang
lalu sudah diprediksi akan datang, dan badai ini bukanlah badai biasa. “Badai
Kutukan” kata kebanyakan orang.
Menurut kisahnya, jika ada seseorang yang berani mengutuk
badai itu, hidupnya juga akan dikutuk juga.
Tetapi wanita ini tak perduli. Ia tidak percaya akan 'mitos-mitos'
seperti itu. “Omong kosong”, pikirnya.
Dan pada saat badai itu datang dan hujan membasahi dirinya
yang sudah hampir sampai ke tujuannya, ia mengatakan sesuatu. Sesuatu yang dapat mengutuk
hidupnya untuk selamanya. Sesuatu yang dapat memasukkan hidupnya ke dalam
bahaya yang sangat besar. “Badai keparat!”, teriakan itu mengaung di langit
yang luas. Pada saat itu, awan diatas menjadi sangat hitam dan petir besar
menyambar pohon yang berada tepat di depannya sehingga tumbang. Pohon itu terbakar.
Api yang berkobar sangat besar. Nyaris sekali menyambarnya. Dan di kobaran api
itu, terbentuk kata-kata yang membuatnya terkejut. Sangat terkejut sebenarnya. “Let me teach you how to punish yourself!”. Ia berlari pulang. Berlari sangat cepat dengan tergesa-gesa.
Lalu ia memasuki rumahnya sambil berteriak. Ia menutup semua
pintu rumahnya, dan semua jendela dan mengunci mereka masing-masing. “Akhirnya
aku bisa menghindari badai itu!”, hatinya berkata. Tapi permainan ini belum selesai, melainkan baru saja dimulai. Ia
melihat satu lembar kertas jatuh dari atap rumahnya. Tak tahu sumbernya dari mana dan
penulisnya siapa. “Terang akan selalu berubah menjadi gelap saat kau ada, karena
kegelapan adalah dirimu” tertulis kalimat itu di lembar kertas tadi. Bau kertas
itu amis, ia sangat yakin tulisan itu ditulis dengan darah manusia.
Waktu dilahap olehnya hanya untuk memikirkan apa yang dimaksud
dengan kalimat itu. Sampai akhirnya ia mengerti bahwa keberadaannya akan selalu
mengundang badai kutukan itu.
Pada waktu itu, ia sangat takut akan keselamatan orang-orang
di sekitarnya, maka dari itu, ia melarikan diri ke tempat yang jauh dari semua
tempat yang ditinggali banyak warga.
Mulai dari saat itulah, ia pindah ke rumahnya yang tua ini,
dengan kutukan badai itu. Ia tidak akan pernah bisa lagi keluar dari rumahnya
dan menikmati langit indah.
“Duar!”, suara petir yang baru saja menyambar terdengar
mengerikan. Rumahnya seakan-akan sedang difoto oleh puluhan paparazzi dengan
flash kamera mereka yang sangat terang. Tapi ia tak takut. Sama sekali tidak
takut kali ini. “Sudah biasa”, itu saja yang ia pikir.
“Ting tong”, bel rumahnya yang selama 30 tahun tidak
berbunyi tiba-tiba mengeluarkan suaranya kembali. Wanita itu sangat kaget
mendengar suara belnya. Mana mungkin ada seseorang yang berani datang ke rumahnya
yang tua dan dalam keadaan sedang diserang badai besar?
Mau tidak mau, ia harus membuka pintu rumahnya. “Ting tong”,
bel itu berbunyi lagi. Ketakutan, ia tidak berkata apa-apa. Pelan-pelan, ia menjalankan kursi rodanya untuk membuka pintu rumahnya. Lagi-lagi, dengan tangan bergemetaran
dan dengan hati yang berdebar-debar, ia memutar gagang pintu itu.
Ya, akhirnya pintu ini dibuka setelah 30 tahun lamanya
tertutup. Hatinya tambah berdebar, seorang
anak perempuan, dengan baju merah muda yang basah kuyup, rambut pirang yang sangat lembut,
mata yang berkaca-kaca, tinggi badan sekitar satu meter dan lollipop yang terlihat
retak di tangannya berdiri di depannya.
“Kutukan itu, kutukan yang dijatuhkan kepadamu dapat
kuhapuskan”, suara anak itu bagaikan suara gemuruh. Mata wanita tua itu menjadi
besar. "Nak apa yang kau katakan?", ia berpura-pura untuk tidak tahu. "Jangan menipuku! Aku adalah dewa Julieth, dewa badai dan binatang", anak itu memperkenalkan identitasnya. Wanita tua itu kebingungan. "Apakah aku bermimpi?", ia bertanya. "Ini bukan mimpi, aku memang ada", dewa itu tersenyum. "Badai kutukan ini adalah hasil kerja tangan ku yang gagal. Seharusnya aku membuat badai berkat, tetapi aku gagal, munculnya badai kutukan ini. Dan pada saat aku ingin menghancurkannya, ia melarikan diri, dan menjadi sangat kuat", ia berkata dengan serius. Caroline terlihat tambah bingung.
“Caroline, berpeganglah ke pundakku”, ia berputar. Tak berpikir panjang, Caroline dengan segera menaruh tangannya ke pundak anak kecil yang pendek itu.
“Caroline, berpeganglah ke pundakku”, ia berputar. Tak berpikir panjang, Caroline dengan segera menaruh tangannya ke pundak anak kecil yang pendek itu.
Dalam sekejap, kepala anak itu berubah menjadi kepala singa,
dan tangannya berubah menjadi sayap burung elang, badannya berubah menjadi
badan serigala dan kakinya berubah menjadi cakar burung garuda. Lalu ia terbang
membawa wanita itu ke awan yang gelap diatas mereka. "Berpeganganlah yang erat!", dewa badai dan binatang itu berkata.
“Kau membawaku kemana!”, teriak Caroline, wanita tua itu. “Semua
kutukan yang badai ini bawa disimpan di dalam satu berlian besar yang melayang
di awan-awan ini! Berlian ini juga merupakan jantung badai ini, jadi jika
dihancurkan, badai itu hilang untuk selamanya! Aku membutuhkan engkau untuk
menghancurkan berlian itu, karena hanya manusia yang terkutuk yang bisa
menghancurkannya”, dewa yang menyamar menjadi anak itu menjawabnya. Suara badai dan gemuruhnya sangatlah
keras sehingga terkadang melampaui suara anak kecil itu.
Setelah dua belas menit mereka terbang mengitari badai ini dan mencari berlian tadi, mereka akhirnya menemukannya. Berlian itu melayang di
titik pusat badai itu. Cahayanya sangat terang, menyilaukan mata mereka berdua.
Dan terlihat di dalam berlian terang tadi, banyak tulisan-tulisan kutukan berwarna
merah darah, sama seperti tulisan yang ia dapatkan 30 tahun yang lalu di
rumahnya.
Ia menelan air liurnya sendiri. Petir menyambar terus
menerus ke berlian itu, tapi tak hancur-hancur. “Ambil pedang ini dan hancurkan
berlian itu! Pedang ini diberi kuasa untuk bisa menghancurkan semua berlian,
termasuk berlian satu ini! Berhati-hatilah”, anak yang sudah berubah wujud itu
berteriak. Tiba-tiba, sebuah pedang berwarna perak mengkilap jatuh tepat di tangannya dan anak kecil itu melemparkannya
kearah berlian terang tadi. Tak dapat ia duga, ia bisa melayang
diatas awan-awan. “Hancurkan semua kutukan itu!”, anak itu berteriak kembali.
Tak lama setelah itu, ia menghilang di awan-awan hitam. Caroline sudah tidak bisa melihatnya lagi.
Dengan pelan-pelan, ia mencoba untuk menghancurkan berlian
itu. Tapi selalu tidak bisa. Setiap kali ia mengarahkan pedangnya ke berlian
itu, petir menyambar. Ia mencoba terus-terusan sampai akhirnya, ia tidak tahan
lagi.
Emosinya mulai naik. Ia menjadi sangat marah. Pedangnya ia
arahkan ke berlian itu. Tapi lagi-lagi petir menyambar. Mukanya menjadi sangat
merah. Matanya berkaca-kaca. Sementara berlian itu hanya duduk diam di
depannya.
Saat ia ingin mencoba untuk mengancurkan berlian itu lagi,
pedangnya tersambar petir sehingga terlempar jauh ke bawah.
“Aaaaaarrrgghh”, ia berteriak sekencang mungkin. Jantungnya
berdebar sangat cepat, keringatnya mengalir dari atas ke bawah, air matanya
keluar dan tangan keriputnya bergemetar. “Tak ada orang yang dapat mendengarkan
teriakanmu Caroline tua! Aku telah mengutukmu selamanya! Dan kau tidak bisa
mengambil kutukan itu kembali!”, badai itu berbicara kepadanya. “Okay! Aku meminta maaf jika dulu, 30
tahun yang lalu, aku mengutukmu. Aku minta maaf. Tapi, hanya
karena aku mengutukmu, bukan berarti kau bisa mengutukku balik!”, ia menjerit.
Caroline menjatuhkan dirinya untuk mengambil pedangnya balik. Angin yang sangat dingin dan
air hujan yang lebat dapat ia rasakan. Akhirnya! Ia dapat melihat
pedang silvernya. “Hap!”, ia memegang pedang itu di tangannya kembali.
Melihat Caroline jatuh dari langit, anak perempuan tadi segera terbang kearahnya
dan membawanya kembali ke tempat berlian itu melayang.
“Bawa pedangnya seerat mungkin, ini mungkin kesempatan terakhir
kita untuk melenyapkan badai ini!”, dewa badai ini mencoba untuk memotivasi Caroline tua. Dilemparkannya kembali Caroline kearah berlian tadi.
Ia mengangkat pedangnya setinggi mungkin dan melompat ke atas berlian itu. “MATILAH
KAU!”. “Nooo!”, giliran badai itu
yang berteriak kepadanya. Tapi sudah terlambat. Pedang yang kuat itu menghancurkan
berlian badai kutukan. Terlihat, sinarnya padam tiba-tiba. Tulisan-tulisan itu jatuh
bertaburan kebawah, terbakar. Serpihan berlian itu jatuh semua, menjadi butiran
debu. Dan badai itu menghilang dalam hitungan detik. Awan gelap itu lenyap, dan
Caroline, yang sudah tidak bertenaga sama sekali, ikut jatuh dengan lemas ke
tanah.
Sebelum badannya menyentuh tanah, anak kecil tadi, masih
dalam wujudnya yang tidak jelas, datang dan membawanya balik ke rumah tuanya
itu. Sesampainya disana, dibaringkan Caroline di kasurnya. Lalu, ia pergi
meninggalkan wanita tua itu.
Setelah satu jam lamanya ia tidak sadarkan diri, akhirnya
matanya kembali terbuka. Di samping tempat tidurnya, terbaring satu surat kecil
untuknya. “Engkau bebas, kini kegelapan telah pergi dan terang akan tinggal
bersamamu”..
Dari mana nih dapet inspirasi? Fiction banget!
BalasHapushehehe...
BalasHapus