Kamis, 01 November 2012

Life Goes On


Malam itu, bulan purnama bersinar sangat terang sehingga pancaran sinarnya terbayang sangat jelas di lautan. Awan tidak terlihat sangat banyak, bintang-bintang juga tidak seperti biasanya. Jumlah mereka sangat dikit. Langit terlihat sangat polos.

Seperti malam-malam biasanya, banyak suara-suara indah yang tak lelah menemaninya hingga tidur. Suara ombak yang menghantam batuan di pinggir pantai, suara burung pelikan yang masih aktif berterbangan di udara, suara kapal-kapal nelayan yang saling bertabrakan di hantam ombak, suara anak-anak muda yang masih memancing dan suara daun-daun pohon kelapa yang diayunkan oleh angin malam.

Tetapi ada sesuatu yang membedakan malam ini dengan malam-malam lainnya bagi dia. Ia tidak bisa memejamkan matanya sekali pun, mengingat satu hal yang membuatnya sangat takut untuk memasuki sesuatu yang baru. Hatinya sangat gelisah. 

‘Klik klok klik klok klik klok’, tak henti suara itu mengganggu telinganya. Jam berwarna merah yang tergantung di atas pintu kamarnya itu menunjukkan pukul 11.39 malam. Semakin jarum panjangnya menunjukkan waktunya bertambah, semakin hatinya berdebar. 

Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya itu. “Mery, mama boleh masuk tidak sayang?”, seorang ibu mencoba untuk menemui anaknya. “Masuk aja mah, pintunya tidak di kunci kok”, ia membalas. “Syukurlah mama boleh masuk nak”, badannya mulai masuk ke dalam kamar itu, “lho, kok mukanya muram? Ada apa nak? Apa ini tentang pacar mu itu?”. “Oh, masa mukaku muram sih mah? Aku tidak sedih kok, cuma melamun saja”, ia mencoba untuk menutupi kegelisahannya itu.

Mery duduk di kasurnya. Ia memeluk bantalnya yang paling empuk. Tak lama kemudian, ibunya menyusul sambil membelai rambut anaknya. “Ada apa? Ceritakan saja pada mama, jadikan mama teman curhatmu nak”, ia mencoba untuk mengetahui apa sesungguhnya di balik muka muram anaknya itu. “Mah… Mah…”, Mery menundukkan kepalanya. Tiba-tiba, satu tetes air mata jatuh ke bantal empuknya itu. 

“Oh sayang, jangan nangis. Ceritakan saja pada mama nak, apa yang terjadi”, ibunya memeluknya dengan prihatin. Dengan mata merah, Mery melirik kearah jam merahnya lagi. Pukul 11.46. Jarinya menunjuk kepada jam itu. Ibunya langsung menolehkan kepalanya dan memfokuskan matanya ke jam itu. 

“Mah, sebentar lagi sudah jam 12 malam”, ia akhirnya berkata. “Iya nak, besok, namanya sudah bukan tahun 2003 lagi, tapi tahun 2004. Seneng kan?”, ibu itu tersenyum manis. “Justru itu mah, aku tidak mau tahunnya berganti. Aku ingin tetap menjadi aku yang sekarang ini, bukan diriku yang hidup di tahun 2004. Aku ingin hidup di masa kecilku. Tahun depan aku sudah 12 tahun. Tanggung jawab ku semakin menumpuk mah, dan aku tidak ingin itu. Aku ingin untuk bisa bersama-sama dengan mama dan papa dan adik selamanya. Aku takut kehilangan kalian semua”, kalimat demi kalimat akhirnya dapat dikeluarkan dari hatinya. “Maksudnya nak?”, ibunya berkata dengan bingung, “tadi kamu bilang kamu ingin tahunnya tidak berganti, terus habis itu bersambunya ke masa kecilmu, terus habis itu kamu bilang takut kehilangan. Maksudmu apa nak?”. “Aku ingin aku bisa hidup di masa kecilku selamanya, dimana papa dan mama dan semua orang yang aku kenal tetap menemaniku dan kita tidak dapat terpisahkan”, ia menyimpulkan sambil menangis. Ibunya memeluknya lagi.

“5..”, seseorang teriak dari luar. “Mah! Udah mau tahun baru! Ayo kesini”, ayahnya berteriak dari ruang tamu mereka. “4…. 3….. 2……”, suara orang asing itu melanjutkan hitung mundurnya. “Pah, mamah mau temenin anaknya disini aja”, dengan suara yang keras dan jelas ibu itu menjelaskan. “1…… Dan….. SELAMAT TAHUN BARU UNTUK SEMUA ORANG YANG BERADA DI PANTAI PANGANDARAN INI DAN JUGA TAK MELUPAKAN INDONESIA!!”, kali ini suaranya sangat keras sehingga terdengar sangat bising di telinga Mery dan ibunya. 

Suara trompet kertas dan kembang api menghiasi malam yang tadinya tak terlalu ramai itu. Orang-orang terlihat sangat bahagia dari jendela rumahnya itu. Semua orang tertawa, tersenyum dan menikmati momen spesial itu. Tetapi mengapa hal itu tidak terjadi kepada Mery? 

“Nak, sudah tahun baru, ayo senyum”, ia berkata. Mery tidak menjawab satu kata pun, ia hanya menarik nafasnya sedalam mungkin dan melepaskannya. “Selamat tahun baru mah”, matanya terlihat berkaca-kaca dan nada suaranya tidak stabil. Muka mamanya berubah menjadi muka prihatin.

“Anakku sayang, dulu waktu mama masih kecil, ya seumur dengan kamu sekarang ini nak, mama juga sering merasa sedih setiap kali tahun baru datang. Mengapa? Sama halnya seperti kamu, mama tidak ingin terpisahkan dari keluarga mama dan semua orang yang mama kenal”, ia memegang kedua tangan Mery dan menggenggamnya dengan erat, “tetapi suatu hari mama belajar, bahwa inilah reality. Kita tidak hidup di cerita dongeng atau cerita-cerita kartun nak, kita hidup di dalam bumi ini, dimana semuanya itu nyata. Kita harus bisa melalui segala hal itu. Satu hal yang mama ingin beri tahu kamu nak, Life Goes On”. Mery menatap mata ibunya yang mengkilat dan melihat senyuman ibunya yang sangat indah. “Kamu harus berani, bahkan harus lebih berani dari mamah nak”.

Bulan purnama dengan sinarnya yang hebat itu tertutup dengan awan pertama yang melewati langit malam itu. Ombak dengan sekejap berhenti dan tiupan angin menghilang. “Jadi kamu berani tidak nak, untuk menjalani hidup ini? Semua itu sudah di rancang sama Tuhan dengan baik, jadi kamu tidak usah kawatir, karena kekawatiran tidak datang dari? Dari siapa nak?”, ibunya bertanya. “Tu.. Tuhan”, Mery lmenjawab, sedikit gagap. “Benar! Itu baru anak mama yang paling mama cinta”, ibunya berdiri dan memeluknya kembali. “Hidup itu adalah tantangan buat kamu dan mama dan kita semua nak, dilalui saja, kamu pasti bisa”, ibu itu mencium dahi anaknya. 

“Sudah, sekarang tidur, sudah pukul 12 lewat 17 menit lho. Selamat malam anak mama”, ia berkata sambil mematikan lampu kamar itu. “Tunggu Ma!”, Mery menyela dan segera bangkit berdiri dari kasurnya, “Makasih ya mah, mama sudah mengajarkanku hal terbaik yang pernah ku dapatkan”. Dengan senyuman manis dan mata yang sudah dibasahi oleh air mata, ibu itu berkata, “Mama janji nak, mama akan menemanimu selalu….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar