Malam itu, bulan purnama bersinar sangat terang sehingga pancaran
sinarnya terbayang sangat jelas di lautan. Awan tidak terlihat sangat banyak,
bintang-bintang juga tidak seperti biasanya. Jumlah mereka sangat dikit. Langit
terlihat sangat polos.
Seperti malam-malam biasanya, banyak suara-suara indah yang
tak lelah menemaninya hingga tidur. Suara ombak yang menghantam batuan di
pinggir pantai, suara burung pelikan yang masih aktif berterbangan di udara, suara
kapal-kapal nelayan yang saling bertabrakan di hantam ombak, suara anak-anak
muda yang masih memancing dan suara daun-daun pohon kelapa yang diayunkan oleh
angin malam.
Tetapi ada sesuatu yang membedakan malam ini dengan
malam-malam lainnya bagi dia. Ia tidak bisa memejamkan matanya sekali pun,
mengingat satu hal yang membuatnya sangat takut untuk memasuki sesuatu yang
baru. Hatinya sangat gelisah.
‘Klik klok klik klok klik klok’, tak henti suara itu mengganggu
telinganya. Jam berwarna merah yang tergantung di atas pintu kamarnya itu
menunjukkan pukul 11.39 malam. Semakin jarum panjangnya menunjukkan waktunya
bertambah, semakin hatinya berdebar.
Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan di pintu kamarnya itu.
“Mery, mama boleh masuk tidak sayang?”, seorang ibu mencoba untuk menemui
anaknya. “Masuk aja mah, pintunya tidak di kunci kok”, ia membalas. “Syukurlah
mama boleh masuk nak”, badannya mulai masuk ke dalam kamar itu, “lho, kok
mukanya muram? Ada apa nak? Apa ini tentang pacar mu itu?”. “Oh, masa mukaku
muram sih mah? Aku tidak sedih kok, cuma melamun saja”, ia mencoba untuk
menutupi kegelisahannya itu.
Mery duduk di kasurnya. Ia memeluk bantalnya yang paling empuk.
Tak lama kemudian, ibunya menyusul sambil membelai rambut anaknya. “Ada apa?
Ceritakan saja pada mama, jadikan mama teman curhatmu nak”, ia mencoba untuk
mengetahui apa sesungguhnya di balik muka muram anaknya itu. “Mah… Mah…”, Mery
menundukkan kepalanya. Tiba-tiba, satu tetes air mata jatuh ke bantal empuknya
itu.
“Oh sayang, jangan nangis. Ceritakan saja pada mama nak, apa
yang terjadi”, ibunya memeluknya dengan prihatin. Dengan mata merah, Mery
melirik kearah jam merahnya lagi. Pukul 11.46. Jarinya menunjuk kepada jam itu.
Ibunya langsung menolehkan kepalanya dan memfokuskan matanya ke jam itu.
“Mah, sebentar lagi sudah jam 12 malam”, ia akhirnya
berkata. “Iya nak, besok, namanya sudah bukan tahun 2003 lagi, tapi tahun 2004.
Seneng kan?”, ibu itu tersenyum manis. “Justru itu mah, aku tidak mau tahunnya
berganti. Aku ingin tetap menjadi aku yang sekarang ini, bukan diriku yang
hidup di tahun 2004. Aku ingin hidup di masa kecilku. Tahun depan aku sudah 12
tahun. Tanggung jawab ku semakin menumpuk mah, dan aku tidak ingin itu. Aku
ingin untuk bisa bersama-sama dengan mama dan papa dan adik selamanya. Aku
takut kehilangan kalian semua”, kalimat demi kalimat akhirnya dapat dikeluarkan
dari hatinya. “Maksudnya nak?”, ibunya berkata dengan bingung, “tadi kamu
bilang kamu ingin tahunnya tidak berganti, terus habis itu bersambunya ke masa
kecilmu, terus habis itu kamu bilang takut kehilangan. Maksudmu apa nak?”. “Aku
ingin aku bisa hidup di masa kecilku selamanya, dimana papa dan mama dan semua
orang yang aku kenal tetap menemaniku dan kita tidak dapat terpisahkan”, ia
menyimpulkan sambil menangis. Ibunya memeluknya lagi.
“5..”, seseorang teriak dari luar. “Mah! Udah mau tahun baru!
Ayo kesini”, ayahnya berteriak dari ruang tamu mereka. “4…. 3….. 2……”, suara
orang asing itu melanjutkan hitung mundurnya. “Pah, mamah mau temenin anaknya
disini aja”, dengan suara yang keras dan jelas ibu itu menjelaskan. “1…… Dan…..
SELAMAT TAHUN BARU UNTUK SEMUA ORANG YANG BERADA DI PANTAI PANGANDARAN INI DAN
JUGA TAK MELUPAKAN INDONESIA!!”, kali ini suaranya sangat keras sehingga
terdengar sangat bising di telinga Mery dan ibunya.
Suara trompet kertas dan kembang api menghiasi malam yang
tadinya tak terlalu ramai itu. Orang-orang terlihat sangat bahagia dari jendela
rumahnya itu. Semua orang tertawa, tersenyum dan menikmati momen spesial itu.
Tetapi mengapa hal itu tidak terjadi kepada Mery?
“Nak, sudah tahun baru, ayo senyum”, ia berkata. Mery tidak
menjawab satu kata pun, ia hanya menarik nafasnya sedalam mungkin dan
melepaskannya. “Selamat tahun baru mah”, matanya terlihat berkaca-kaca dan nada
suaranya tidak stabil. Muka mamanya berubah menjadi muka prihatin.
“Anakku sayang, dulu waktu mama masih kecil, ya seumur
dengan kamu sekarang ini nak, mama juga sering merasa sedih setiap kali tahun
baru datang. Mengapa? Sama halnya seperti kamu, mama tidak ingin terpisahkan
dari keluarga mama dan semua orang yang mama kenal”, ia memegang kedua tangan
Mery dan menggenggamnya dengan erat, “tetapi suatu hari mama belajar, bahwa
inilah reality. Kita tidak hidup di
cerita dongeng atau cerita-cerita kartun nak, kita hidup di dalam bumi ini, dimana
semuanya itu nyata. Kita harus bisa melalui segala hal itu. Satu hal yang mama ingin beri tahu kamu nak, Life Goes On”. Mery menatap mata
ibunya yang mengkilat dan melihat senyuman ibunya yang sangat indah. “Kamu harus berani, bahkan harus lebih berani dari mamah
nak”.
Bulan purnama dengan sinarnya yang hebat itu tertutup dengan
awan pertama yang melewati langit malam itu. Ombak dengan sekejap berhenti dan
tiupan angin menghilang. “Jadi kamu berani tidak nak, untuk menjalani hidup
ini? Semua itu sudah di rancang sama Tuhan dengan baik, jadi kamu tidak usah
kawatir, karena kekawatiran tidak datang dari? Dari siapa nak?”, ibunya
bertanya. “Tu.. Tuhan”, Mery lmenjawab, sedikit gagap. “Benar! Itu baru anak
mama yang paling mama cinta”, ibunya berdiri dan memeluknya kembali. “Hidup itu
adalah tantangan buat kamu dan mama dan kita semua nak, dilalui saja, kamu pasti
bisa”, ibu itu mencium dahi anaknya.
“Sudah, sekarang tidur, sudah pukul 12 lewat 17 menit lho.
Selamat malam anak mama”, ia berkata sambil mematikan lampu kamar itu. “Tunggu
Ma!”, Mery menyela dan segera bangkit berdiri dari kasurnya, “Makasih ya mah,
mama sudah mengajarkanku hal terbaik yang pernah ku dapatkan”. Dengan senyuman
manis dan mata yang sudah dibasahi oleh air mata, ibu itu berkata, “Mama janji
nak, mama akan menemanimu selalu….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar