Kamis, 15 November 2012

Mengampuni


Pagi di kerajaan yang besar itu sangatlah indah. Matahari bersinar sangat terang, membuat kaca-kaca dan alat-alat dari logam lainnya menjadi mengkilap. Awan-awan juga tidak terlihat banyak, membiarkan sinar matahari masuk dan menerangi tempat ini. Cuacanya juga lumayan baik. Sungguh pagi yang luar biasa.

Di tengah-tengah pasar yang ramai, berjalan seorang pria. Mukanya terlihat bingung, bola matanya berlari keatas dan kebawah, dan kakinya terlihat lemah sehingga ia berjalan seperti orang cacat. Perhatian orang-orang selalu terarahkan kepadanya, mereka pikir ia adalah seorang copet yang berusaha untuk mengambil dompet orang-orang di pasar itu. 

“Bisakah mereka menemukanku?”, Isaac, pria itu, bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia menggaruk kepalanya dan mencoba untuk bertingkah normal, seperti orang-orang lainnya. Tetapi ia gagal.  

“Kamu! Kamu dipanggil oleh Yang Mulia, Raja Kami!”, sekelompok tentara kerajaan itu datang dan berusaha untuk menangkapnya. Tanpa berpikir panjang, Isaac segera berbalik badan dan berlari sekencang mungkin. Pelariannya itu membuat kerusuhan di pasar ini. Satu saat, ia menabrak sebuah gerobak yang penuh dengan terong sehingga terjatuh dan semua isinya menggelinding di tanah. Tapi ia mengabaikan kejadian itu dan tetap berlari secepat-cepatnya. Dan pada saat ia berlari secepat cheetah, ia terpeleset batu yang berlumut. “Argh!”, ia berteriak. Boom! Pria ini terjatuh. Kakinya berdarah, dahinya terlihat bengkak karena menabrak bebatuan dan tanganya menjadi sangat kotor. “Sial! Kenapa harus terpeleset!”, pikirnya.
Beberapa saat setelah itu, seorang tentara berdiri di sampingnya dan berkata, “Akhirnya kamu jatuh juga!”. “Cepat, ambil borgol itu dan borgol tangannya, dia bisa kabur kapan saja!”, ia berkata kepada salah seorang kawannya. “Kabur? Ide yang bagus”, Isaac berpikir. “Namun, apa mungkin? Ah, coba saja”. 

Sebelum tentara-tentara itu membekuknya, ia berdiri dan berlari kembali. “Hey Hey! Dia kabur, tangkap dia! Cepat, tangkap dia!“, pemimpin dari kelompok tentara tadi berteriak. “Celaka, kenapa kakiku harus berdarah juga?! Aku harus lari secepat mungkin!”, ia berkata kepada dirinya sendiri. Isaac dapat merasakan kepedihan di kakinya, tetapi ia tetap harus kabur dan menjauh dari mereka.

Terus memaksa kakinya untuk tetap berlari, kaki kanannya terpelintir sehingga ia terjatuh untuk kedua kalinya. Dan sebelum ia dapat berdiri lagi, terdengar suara klik dari arah tangannya. “Sudah aku borgol Komandan!”. “Baik, bawa dia ke Yang Mulia”, pemimpin mereka berkata, “pukul lehernya terlebih dahulu!”. “Siap”, salah satu dari mereka mendekati pria ini dan, buk! Matanya menutup. Ia terjatuh pingsan.

Sesaat setelah kejadian itu, ia membuka matanya lagi. “Dimana aku?”, ia bertanya, belum mengetahui bahwa ia berada di depan Rajanya. “Kau berada di istanaku”, Raja itu dengan tenang berkata kepadanya. “Oh, Yang Mulia”, ia terbangun dan merapikan pakaiannya, “jika semua ini karena masalah saya kepada Yang Mulia, saya meminta maaf”. “Ini memang karena masalah itu yang belum kau selesaikan. Saya sudah membuat keputusan baru untuk menghukummu”.

“Pak, tolong jangan hukum saya. Saya tidak bisa mengembalikkan semua hutang saya kepada bapak”, ia berlutut di hadapan Rajanya, meminta ampun di dalam istana yang besar itu. “Begini hambaku, saya ingin engkau untuk bertanggung jawab atas hutang-hutang engkau kepada saya. Anda tetap harus saya hukum”, Raja itu menolak. “Lagi pula, apa anda bisa membayar hutang berjuta-juta seperti ini? Pasti anda tidak akan bisa. Jikalau anda bisa, itu berbeda kasus. Saya pasti akan membebaskan anda”. “Tetapi Yang Mulia, saya ingin menerima ampun. Saya meminta maaf saya berhutang sangat banyak kepada Yang Mulia”, suaranya semakin serak.  Tak tega melihatnya memohon, Raja itu mengalihkan pandangannya yang semula terfokus kepada pria yang berhutang kepadanya itu.

Keringat Isaac semakin lama semakin mengucur ke lantai, rambutnya sudah basah kuyup, nafasnya tersengal-sengal, dan tangannya bergemetar. Kadang-kadang, tangannya, yang juga dialiri keringatnya, terpeleset dan ia terjatuh.

Tiba-tiba, ia sujud di depan Raja tadi, seakan-akan menyembahnya. “Aku memohon kepadamu Rajaku, aku tidak dapat membayar semua hutang-hutang ku. Aku memohon. Jika engkau menghukumku, siapa yang akan bekerja untuk anak dan istriku? Siapa yang akan member mereka makan dan minum yang cukup? Siapa yang akan merawat mereka seperti aku merawat mereka?”, ia terus mencoba untuk meminta ampun. Karena perkataannya yang singkat itu, hati Raja ini tergerakkan. Pandangannya kembali terarah kepada Isaac.

Sebenarnya, hatinya diputarkan seratus delapan puluh derajat. Ia bingung harus melakukan apa. Dalam satu sisi, ia membutuhkan uang itu untuk memenuhi kebutuhannya, di satu sisi lainnya, ia merasa kasihan terhadap Isaac. Tetapi, ia harus menyadari bahwa ia yang berkuasa di dalam kerajaannya ini, dan keputusan harus segera dibuat.

“Tunggu sebentar, akan aku pikirkan terlebih dahulu mengenai ini”, ia berkata dengan suara yang berat. Hati pria tadi mulai menjadi tenang. “Terima Kasih Yang Mulia”, ia berkata, tidak tahu berterima kasih karena apa, tetapi ia terus bersujud.

Setelah hampir 23 menit lamanya Raja ini berpikir dan berpikir terus menerus, ia akhirnya menemukan keputusan yang benar.

“Seharusnya, hutang yang engkau buat itu digunakan untuk membayar kebutuhan-kebutuhan keluarga saya. Tapi, saya sudah menemukan keputusan yang tidak hanya mementingkan diri saya sendiri, tetapi juga mementingkan rakyat saya. Lagi pula, uang sebesar itu dapat saya cari kembali. Jadi, keputusan saya adalah untuk membebaskanmu”, Raja itu tersenyum lebar. “Oh terima kasih yang sebesar-besarnya ditujukan kepada engkau Rajaku, kau memang yang terbaik! Terima kasih sekali”, suaranya menjadi sangat jelas. “Sama-sama, engkau diperbolehkan untuk meninggalkan tempat ini”, ia berkata. Kemudian Isaac menundukkan kepalanya dan berjalan keluar dengan hati yang sangat senang.

Laki-laki ini berjalan keluar dari istana itu sambil berteriak, “Aku dibebaskan!”. Mukanya terlihat sangat senang, dan bibirnya membentuk suatu senyuman indah. 

“Hey kawan! Kau dibebaskan dari hutangmu ya? Syukurlah”, Alex, salah seorang temannya menghampirinya. “Kamu!”, tiba-tiba ia menjadi marah, “kau ingat tidak, bahwa kau berhutang kepadaku! Kau harus membayarnya sekarang”. Isaac mencekik Alex sangat erat, sehingga ia nyaris dijemput oleh Tuhan. “Tetapi aku tidak punya cukup uang untuk melunasi hutang itu”, ia memohon. Omong kosong! Bayar sekarang juga!”, ia berteriak.

Seorang penjaga istana yang melihatnya melakukan hal itu, berlari kepada sang Raja dan melaporkan kejadian kejam itu. “Panggil dia!”, perintah Raja. 

Tak lama kemudian, Isaac kembali berhadapan dengan Rajanya. “Bukannya aku baru saja membebaskanmu dari hutangmu yang keterlaluan itu?”, ia bertanya. “Iya Yang Mulia, memang kenapa?”. “Aku sangat kecewa melihatmu mencekik temanmu yang berhutang kepadamu itu, kau seharusnya membebaskannya, sama halnya seperti aku membebaskanmu”, Raja itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Isaac menundukkan kepalanya. “Terpaksa aku harus melakukan yang terbaik untuk kita semua”, ia berkata. “Tidak!”, Isaac memberontak. “Pasukan, bawa pria jahat ini ke penjara”, ia memerintah. “Belajarlah untuk mengampuni”, Raja itu menasihatinya. 

Isaac tidak dapat berbicara apa-apa lagi, memang itu yang pantas ia dapatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar