Pagi di kerajaan yang besar itu sangatlah indah. Matahari
bersinar sangat terang, membuat kaca-kaca dan alat-alat dari logam lainnya menjadi
mengkilap. Awan-awan juga tidak terlihat banyak, membiarkan sinar matahari
masuk dan menerangi tempat ini. Cuacanya juga lumayan baik. Sungguh pagi yang luar
biasa.
Di tengah-tengah pasar yang ramai, berjalan seorang pria.
Mukanya terlihat bingung, bola matanya berlari keatas dan kebawah, dan kakinya
terlihat lemah sehingga ia berjalan seperti orang cacat. Perhatian orang-orang
selalu terarahkan kepadanya, mereka pikir ia adalah seorang copet yang berusaha
untuk mengambil dompet orang-orang di pasar itu.
“Bisakah mereka menemukanku?”, Isaac, pria itu,
bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia menggaruk kepalanya dan mencoba untuk
bertingkah normal, seperti orang-orang lainnya. Tetapi ia gagal.
“Kamu! Kamu dipanggil oleh Yang Mulia, Raja Kami!”,
sekelompok tentara kerajaan itu datang dan berusaha untuk menangkapnya. Tanpa
berpikir panjang, Isaac segera berbalik badan dan berlari sekencang mungkin.
Pelariannya itu membuat kerusuhan di pasar ini. Satu saat, ia menabrak sebuah
gerobak yang penuh dengan terong sehingga terjatuh dan semua isinya
menggelinding di tanah. Tapi ia mengabaikan kejadian itu dan tetap berlari
secepat-cepatnya. Dan pada saat ia berlari secepat cheetah, ia terpeleset batu yang berlumut. “Argh!”, ia berteriak.
Boom! Pria ini terjatuh. Kakinya berdarah, dahinya terlihat bengkak karena
menabrak bebatuan dan tanganya menjadi sangat kotor. “Sial! Kenapa harus
terpeleset!”, pikirnya.
Beberapa saat setelah itu, seorang tentara berdiri di
sampingnya dan berkata, “Akhirnya kamu jatuh juga!”. “Cepat, ambil borgol itu
dan borgol tangannya, dia bisa kabur kapan saja!”, ia berkata kepada salah
seorang kawannya. “Kabur? Ide yang bagus”, Isaac berpikir. “Namun, apa mungkin?
Ah, coba saja”.
Sebelum tentara-tentara itu membekuknya, ia berdiri dan
berlari kembali. “Hey Hey! Dia kabur, tangkap dia! Cepat, tangkap dia!“,
pemimpin dari kelompok tentara tadi berteriak. “Celaka, kenapa kakiku harus
berdarah juga?! Aku harus lari secepat mungkin!”, ia berkata kepada dirinya
sendiri. Isaac dapat merasakan kepedihan di kakinya, tetapi ia tetap harus
kabur dan menjauh dari mereka.
Terus memaksa kakinya untuk tetap berlari, kaki kanannya
terpelintir sehingga ia terjatuh untuk kedua kalinya. Dan sebelum ia dapat
berdiri lagi, terdengar suara klik dari arah tangannya. “Sudah aku borgol
Komandan!”. “Baik, bawa dia ke Yang Mulia”, pemimpin mereka berkata, “pukul
lehernya terlebih dahulu!”. “Siap”, salah satu dari mereka mendekati pria ini
dan, buk! Matanya menutup. Ia terjatuh pingsan.
Sesaat setelah kejadian itu, ia membuka matanya lagi.
“Dimana aku?”, ia bertanya, belum mengetahui bahwa ia berada di depan Rajanya.
“Kau berada di istanaku”, Raja itu dengan tenang berkata kepadanya. “Oh, Yang
Mulia”, ia terbangun dan merapikan pakaiannya, “jika semua ini karena masalah
saya kepada Yang Mulia, saya meminta maaf”. “Ini memang karena masalah itu yang
belum kau selesaikan. Saya sudah membuat keputusan baru untuk menghukummu”.
“Pak, tolong jangan hukum saya. Saya tidak bisa
mengembalikkan semua hutang saya kepada bapak”, ia berlutut di hadapan Rajanya,
meminta ampun di dalam istana yang besar itu. “Begini hambaku, saya ingin
engkau untuk bertanggung jawab atas hutang-hutang engkau kepada saya. Anda
tetap harus saya hukum”, Raja itu menolak. “Lagi pula, apa anda bisa membayar
hutang berjuta-juta seperti ini? Pasti anda tidak akan bisa. Jikalau anda bisa,
itu berbeda kasus. Saya pasti akan membebaskan anda”. “Tetapi Yang Mulia, saya
ingin menerima ampun. Saya meminta maaf saya berhutang sangat banyak kepada
Yang Mulia”, suaranya semakin serak. Tak
tega melihatnya memohon, Raja itu mengalihkan pandangannya yang semula terfokus
kepada pria yang berhutang kepadanya itu.
Keringat Isaac semakin lama semakin mengucur ke lantai,
rambutnya sudah basah kuyup, nafasnya tersengal-sengal, dan tangannya
bergemetar. Kadang-kadang, tangannya, yang juga dialiri keringatnya, terpeleset
dan ia terjatuh.
Tiba-tiba, ia sujud di depan Raja tadi, seakan-akan
menyembahnya. “Aku memohon kepadamu Rajaku, aku tidak dapat membayar semua
hutang-hutang ku. Aku memohon. Jika engkau menghukumku, siapa yang akan bekerja
untuk anak dan istriku? Siapa yang akan member mereka makan dan minum yang
cukup? Siapa yang akan merawat mereka seperti aku merawat mereka?”, ia terus
mencoba untuk meminta ampun. Karena perkataannya yang singkat itu, hati Raja
ini tergerakkan. Pandangannya kembali terarah kepada Isaac.
Sebenarnya, hatinya diputarkan seratus delapan puluh
derajat. Ia bingung harus melakukan apa. Dalam satu sisi, ia membutuhkan uang
itu untuk memenuhi kebutuhannya, di satu sisi lainnya, ia merasa kasihan terhadap
Isaac. Tetapi, ia harus menyadari bahwa ia yang berkuasa di dalam kerajaannya ini,
dan keputusan harus segera dibuat.
“Tunggu sebentar, akan aku pikirkan terlebih dahulu mengenai
ini”, ia berkata dengan suara yang berat. Hati pria tadi mulai menjadi tenang.
“Terima Kasih Yang Mulia”, ia berkata, tidak tahu berterima kasih karena apa,
tetapi ia terus bersujud.
Setelah hampir 23 menit lamanya Raja ini berpikir dan berpikir
terus menerus, ia akhirnya menemukan keputusan yang benar.
“Seharusnya, hutang yang engkau buat itu digunakan untuk
membayar kebutuhan-kebutuhan keluarga saya. Tapi, saya sudah menemukan
keputusan yang tidak hanya mementingkan diri saya sendiri, tetapi juga
mementingkan rakyat saya. Lagi pula, uang sebesar itu dapat saya cari kembali.
Jadi, keputusan saya adalah untuk membebaskanmu”, Raja itu tersenyum lebar. “Oh
terima kasih yang sebesar-besarnya ditujukan kepada engkau Rajaku, kau memang
yang terbaik! Terima kasih sekali”, suaranya menjadi sangat jelas. “Sama-sama,
engkau diperbolehkan untuk meninggalkan tempat ini”, ia berkata. Kemudian Isaac
menundukkan kepalanya dan berjalan keluar dengan hati yang sangat senang.
Laki-laki ini berjalan keluar dari istana itu sambil
berteriak, “Aku dibebaskan!”. Mukanya terlihat sangat senang, dan bibirnya
membentuk suatu senyuman indah.
“Hey kawan! Kau dibebaskan dari hutangmu ya? Syukurlah”,
Alex, salah seorang temannya menghampirinya. “Kamu!”, tiba-tiba ia menjadi
marah, “kau ingat tidak, bahwa kau berhutang kepadaku! Kau harus membayarnya
sekarang”. Isaac mencekik Alex sangat erat, sehingga ia nyaris dijemput oleh
Tuhan. “Tetapi aku tidak punya cukup uang untuk melunasi hutang itu”, ia
memohon. Omong kosong! Bayar sekarang juga!”, ia berteriak.
Seorang penjaga istana yang melihatnya melakukan hal itu,
berlari kepada sang Raja dan melaporkan kejadian kejam itu. “Panggil dia!”,
perintah Raja.
Tak lama kemudian, Isaac kembali berhadapan dengan Rajanya.
“Bukannya aku baru saja membebaskanmu dari hutangmu yang keterlaluan itu?”, ia
bertanya. “Iya Yang Mulia, memang kenapa?”. “Aku sangat kecewa melihatmu
mencekik temanmu yang berhutang kepadamu itu, kau seharusnya membebaskannya,
sama halnya seperti aku membebaskanmu”, Raja itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Isaac menundukkan kepalanya. “Terpaksa aku harus melakukan yang
terbaik untuk kita semua”, ia berkata. “Tidak!”, Isaac memberontak. “Pasukan,
bawa pria jahat ini ke penjara”, ia memerintah. “Belajarlah untuk mengampuni”,
Raja itu menasihatinya.
Isaac tidak dapat berbicara apa-apa lagi, memang itu yang
pantas ia dapatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar